REVIEW 5 ABSTRAKSI DAN PENDAHULUAN
EKONOMI KERAKYATAN DALAM TATANAN
EKONOMI INDONESIA : PERAN KOPERASI & USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
OLEH :
ABSTRAKSI
Salah satu fungsi dan tujuan
didirikannya sebuah negaraa adalah menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran
bagi rakyatnya. Oleh karena itu, keberfungsian sebuah negara tergambar pada
seberapa sejahetra dan makmur rakyatnya. Dalam teori ekonomi pembangunan,
kesejahteraan dan kemakmuran sebuah negara diukur melalui sejumlah indikator.
Dua di antaranya adalah produk domestik bruto (PDB) per kapita dan indeks
pembangunan manusia (IPM). Berdasarkan data tentang kedua indikator tersebut,
Indonesia hingga tahun 2010 masih jauh berada dibawah Negara maju di kawasan
Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Bahkan di Asia Tenggara, dilihat dari
IPMnya, Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia
dan Filiphina. Indonesia hanya berada lima tingkat di atas Vietnam dan 12
tingkat di atas Timor Leste. Hal tersebut, ditambah dengan masih lebarnya
kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin”, mengindikasikan bahwa negara dan
bangsa kita masih harus bekerja keras dan—mungkin lebih tepat—bekerja cerdas
untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Kaitan antara
tingkat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran dengan tatanan ekonomi
nasional, khususnya kedudukan ekonomi kerakyatan yang “diwakili” oleh koperasi
dan usaha mikro, kecil, dan menengah akan menjadi fokus bahasan dari makalah
ini.
1.
PENDAHULUAN
Sebagaiman tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Indonesia didirikan dengan tujuan
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Pengejawantahan dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, khususnya
yang berkaitan dengan frasa “memajukan kesejahteraan umum”, pada hakekatnya
merupakan tugas semua elemen bangsa, yakni rakyat di segala lapisan di bawah
arahan pemerintah. Tidak terlalu salah jika, mengacu pada definisi tujuan
pendirian negara yang mulia tersebut, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa
Indonesia harus dicapai dengan menerapkan prinsip “dari, oleh, dan untuk
rakyat”.
Konsep tersebut telah jauh-jauh hari
dipikirkan oleh Bung Hatta—wakil presiden pertama Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Beliau, bahkan jauh sebelum Schumacher—yang terkenal dengan bukunya
Small is Beautiful, dan Amartya Sen—pemenang Nobel 1998 Bidang Ekonomi,
berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan merupakan bentuk perekonomian yang paling
tepat bagi bangsa Indonesia (Nugroho, 1997). Orientasi utama dari ekonomi
kerakyatan adalah rakyat banyak, bukan sebagian atau sekelompok kecil orang.
Pandangan tersebut lahir, menurut Baswir (2006), jauh sebelum Indonesia
merdeka. Bung Hatta melalui artikelnya yang berjudul “Ekonomi Rakyat” yang
diterbitkan dalam harian Daulat Rakyat (20 November 1933), mengekspresikan
kegundahannya melihat kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah penindasan
pemerintah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa “kegundahan” hati Bung Hatta
atas kondisi ekonomi rakyat Indonesia—yang waktu itu masih berada di bawah
penjajahan Belanda, merupakan cikal bakal dari lahirnya, katakanlah demikian,
konsep ekonomi kerakyatan.
Lebih jauh, pemikiran mengenai pentingnya perekonomian
yang berpihak kepada rakyat menjadi dasar bagi lahirnya Pasal 27 dan 33 Undang
Undang Dasar 1945. Kedua pasal tersebut kemudian menjadi dasar ertimbangan
dilahirkannya Undang Undang Perkoperasian (UU Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
1992) dan Undang Undang Usaha Kecil dan Menengah (UU Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2008). Dengan demikian, tampak jelas adanya keterkaitan yang erat
antara ekonomi kerakyatan dengan koperasi dan usaha kecil dan menengah.
Bahasan tentang peran kedua sektor usaha tersebut
(koperasi dan usaha kecil danmenengah) dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan
relatif jarang mengemuka. Namun, berkaca pada keadaan ekonomi saat ini yang
sepertinya baik—sebagaimana diindikasikan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi
tahun 2010 sebesar 6,10 persen—tetapi dibarengi oleh kesenjangan antara orang
kaya dan orang miskin yang semakinmelebar—sebagaimana diindikasikan oleh fakta
yang menunjukkan bahwa dua persen penduduk terkaya menguasai asset nasional
sebesar 46 persen dan 98 persen penduduk menguasai 54 persen asset nasional
(Suryohadadiprojo, 2011), bahasan tentang ekonomi kerakyatan dan kaitannya
keberadaan koperasi dan usaha kecil dan menengah dalam tatanan ekonomi nasional
menjadi relevan.
2.
Ekonomi kerakyatan: Definisi dan hakekatnya
Ekonomi kerakyatan adalah Sistem
Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, kedaulatan rakyat,
bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi
rakyat (Mubyarto, 2002). Lebih jauh ia menjelaskan bahwa berjalannya sistem
ekonomi nasional yang berkeadilan sosial membutuhkan syarat yang sudah tentu
harus dipenuhi. Syarat dimaksudkan adalah adanya (i) kedaulatan di bidang
politik, (ii) kemandirian di bidang ekonomi, dan (iii) kepribadian di bidang
budaya.
Definisi dengan penjelasannya di
atas, pada dasarnya sejalan dengan apa yang diperjuangkan para founding fathers
bangsa ini (Bung Hata utamanya) berupa dirumuskannya Pialr Sistem Ekonomi
Indonesia yang sejalan dengan agenda reformasi sosial dan kemudian dituangkan
dalam Pasal 33 UUD 1945. Pilar dimaksud meliputi tiga aspek berikut :
1.
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3.
Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat (Mubyarto, 2002)
Dalam pasal tersebut, tercantum dasar demokrasi ekonomi, dimana
produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan
anggota-anggota masyarakat. Dengan perkataan lain, dalam sistem ekonomi
kerakyatan kemakmuran masyarakat merupakan fokus utama, bukan kemakmuran
individu. Oleh karena itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Untuk lebih mudah memahami konsep ekonomi kerakyatan, Baswir (2006)
menyarankan untuk memulainya dengan menguraikan makna penggalan kalimat pertama
yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Penggalan dimaksud adalah
sebagai berikut.
“…dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua
di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu,
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.”
Dengan pendekatan di atas, dengan mudah kita ketahui bahwa yang
dimaksud dengan ekonomi kerakyatan tidak lain adalah “demokrasi ekonomi”
sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut yang secara
substansial, menurut Baswir (2006), mencakup tiga hal berikut :
1. Adanya
partisipasi penuh seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi
nasional. Karena dengan cara seperti ini lah semua anggota masyarakat mendapat
bagiaN dari seluruh hasil produksi nasional.
2. Adanya
partisipasi penuh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi
nasional. Di bawah kondisi seperti ini tidak ada satu pun anggota
masyarakat—termasuk fakir miskin—yang tidak menikmati hasil produksi nasional.
3. Pembentukan
produksi dan pembagian hasil produksi nasional harus berada di bawah pimpinan
atau penilikan anggota masyarakat. Dalam sistem ekonomi kerakyatan, kedaulatan
ekonomi harus berada di tangan rakyat. Hal ini bertolak belakang dengan sistem
ekonomi pasar, khususnya neoliberal, di mana kedaulatan ekonomi sepenenuhnya
berada di tangan pemilik modal. Kegiatan pembentukan produksi nasional boleh
dilakukan oleh para pemodal asing, namun kegiatan tersebut harus tetap berada
di bawah pengawasan dan pengendalian masyarakat.
Berkaitan dengan definisi ekonomi kerakyatan yang secara tegas
dinyatakan memiliki karakteristik yang ideal yakni berkeadilan sosial, Mubyarto
(2002) mengemukakan bahwa moral pembangunan yang mendasari paradigm pembangunan
yang berkeadilan sosial mencakup 6 aspek berikut :
1.) Peningkatan
partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun perempuan dengan
otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab.
2.) Penyegaran
nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan system dan kebijakan
ekonomi.
3.) Pendekatan
pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural.
4.) Pencegahan
kecenderungan disintegrasi sosial.
5.) Penghormatan
hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat.
6.) Pengkajian
ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi.
3.
Tatanan Perekonomian Indonesia
Pada akhir tahun 2010, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa dalam empat hingga lima tahun ke
depan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan mencapai 9 ribu triliun rupiah
atau dua ribu triliun rupiah lebih tinggi daripada PDB tahun 2010. Lebih jauh
dijelaskan oleh Menko Perekonomian bahwa pada
tahun 2025 PDB Indonesia akan berada pada kisaran antara 3,7 hingga 4,7
triliun dolar AS dengan pendapatan per kapita antara 12 ribu hingga 16 ribu
dolar AS yang setara dengan lebih kurang 8,5 juta hingga 11 juta rupiah per
kapita per bulan. Capaian yang cukup spektakuler tersebut akan direalisasikan
melalui penggunaan “sistem ekonomi terbuka” yakni: sistem ekonomi yang mengutamakan peran pasar
meski peran pemerintah tetap besar” (Suryohadiprojo, 2011).
Jelas dari ungkapan presiden dan
pembantunya di atas, tatanan ekonomi Indonesia, diakui atau tidak, tidak lain adalah—atau paling
tidak, sebagaimana dikemukakan Suryohadiprojo (2011), lebih mengarah ke tatanan
ekonomi neoliberasme yang didefinisikan oleh Martinez dan GarcĂa (2001) sebagai
“…. a modern politicoeconomic theory
favoring free trade, privatization, minimal government intervention in
business, reduced public expenditure on social services, etc.” Di dunia, lanjut mereka, neoliberalisme
diterapkan oleh lembaga keuangan dunia
yang sangat kuat yakni International
Monetary Fund (IMF), Bank Dunia,
dan the Inter-American Development Bank.
Ciri lain dari ekonomi neoliberalisme adalah fokusnya yang kuat pada
pertumbuhan ekonomi yang biasa direpresentasikan, antara lain, oleh produk
domestik bruto (PDB).
Dampak langsung dari diterapkannya
sistem ekonomi neoliberalisme adalah turunnya upah sebesar 40 hingga 50 persen
dan meningkatnya biaya hidup hingga 80
persen pada tahun pertama pemberlakuan NAFTA (North America Free Trade
Agreement) di Meksiko. Lebih dari 20 ribu unit usaha kecil dan menengah
mengalami kepailitan dan tidak kurang dari seribu unit badan usaha milik
pemerintah (semacam BUMN) diprivatisasi. Berdasarkan pada fenomena tersebut,
ada pihak yang mengatakan bahwa neolibelisme di Amerika Latin tidak lain adalah
neokolonialisme—bentuk penjajahan baru (Martinez dan Garcia, 2001).
Meskipun belum didukung oleh data
empiris yang akurat, gejala seperti apa yang dialami Meksiko, yakni banyaknya
unit usaha kecil dan menengah yang mengalami kepailitan dan adanya sejumlah
unit badan usaha milik pemerintah yang diprivatisasi, di Indonesia sudah mulai
menampakkan wajahnya. Kondisi tersebut ditambah dengan semakin melebarnya
kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian serta tingginya tingkat
kerusakan ekologi akibat eksploitasi besar-besaran, mengindikasikan bahwa
sebenarnya tatanan perekonomian yang diterapkan di Indonesia adalah
neoliberalisme (Baswir, 2009). Bahkan, lebih tegas ia mengemukakan bahwa
setelah melaksanakan agenda ekonomi neoliberal secara masif dalam 10 tahun
belakangan ini, cengkeraman neokolonialisme terhadap perekonomian Indonesia
cenderung semakin dalam. Sebuah pernyataan yang sesuai dengan pendapat Martinez
dan Gracia (2001) bahwa neoliberalisme—kali ini di Indonesia, bukan di Amerika
Latin—tidak lain adalah neokolonialisme.
Dilihat dari definisi dan
orientasinya, sistem ekonomi neoliberalisme jauh bersebarangan dengan sistem
ekonomi kerakyatan. Tiga dari sejumlah perbedaan yang ada antara keduanya
adalah bahwa neoliberalisme diarahkan untuk (i) mengatur dan menjaga bekerjanya
mekanisme pasar sambil mencegah monopoli, (ii) mengembangkan sektor swasta dan
melakukan privatisasi BUMN, dan (iii) memacu laju pertumbuhan ekonomi, termasuk
dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masuknya investasi (Baswir,
2009).
Dengan demikian, perjuangan untuk
membumikan sistem ekonomi kerakyatan masih panjang dan berat, meski masih
menyimpan secercah harapan, dengan
syarat, seperti dikemukakan Swasono (2002), bangsa ini tidak “menobatkan” pasar
bebas sebagai “berhala baru” di mana semua pihak—dari mulai menteri ekonomi
hingga presiden bahkan kabinet yang dibentuk presiden, harus bersahabat dengan
pasar. Sebaliknya, pasarlah yang harus bersahabat dengan kita, rakyat
Indonesia.
4.
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dalam
Tatanan Ekonomi Indonesia dan Era Globalisasi
Soetrisno (2003) menyatakan bahwa
koperasi merupakan salah satu pilihan bentuk organisasi ekonomi dalam
menghadapi era globalisasi. Alasannya adalah karena koperasi sejak kelahirannya
disadari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama
yang didasari oleh prinsip “self help and cooperation.” Sejalan dengan
pernyataan di atas, koperasi dipandang memilik peranan strategis dalam perekonomian Indonesia, antara lain, karena
tiga bentuk eksistensi koperasi (Krisnamurthi, 2002). Ketiga bentuk eksistensi
dimaksud, menurut Krisnamurthi (2002) menyitasi PSP-IPB (199), adalah:
a.
koperasi dipandang sebagai lembaga yang
menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut
diperlukan oleh masyarakat;
b.
koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga
usaha lain; dan
c.
koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh
anggotanya.
Tentang pentingnya peranan koperasi dalam perekonomian Indonesia, lebih
jauh Hariyono (2003) menegaskan bahwa koperasi di Indonesia, yang pendiriannya
dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, merupakan lembaga kehidupan rakyat
Indonesia untuk menjamin hak hidupnya yakni memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu masyarakat
adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal
27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara.
Dapat disimpulkan bahwa koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah
merupakan bentuk pengejawantahan ekonomi kerakyatan—sistem perekonomian yang
lebih mementingkat kesejahteraan dan kemakmuran orang banyak bukan orangper
orang. Kedue bentuk organisasi ekonomi ini, selain merupakan konstituen system
ekonomi kerakyatan, juga merupakan bentuk organisasi ekonomi yang cocok bagi
karakteristik bangsa Indonesia yang, menurut Hariyono (2003), lebih bersifat
“homo societas” daripada “homo economicus” yakni lebih mengutamakan hubungan
antarmanusia daripada kepentingan ekonomi atau materi.
5.
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah:
Beberapa Kelemahan dan Hambatan
Baik koperasi maupun usaha mikro,
kecil, dan menengah, dilihat dari definisi dan ruang lingkup serta
karakteristik anggotanya yakni kecil
ruang lingkup usahanya dan anggotanya adalah (umumnya) rakyat kecil
dengan modal terbatas dan kemampuan manajerial yang juga terbatas, memiliki
sejumlah hambatan dalam upaya memainkan perannya dalam “kancah”
perekonomian nasional.
Kelemahan yang dimiliki oleh usaha
mikro, kecil, dan menengah, erat kaitannya dengan karakteristik yang
dimilikinya. Menurut Afiah (2009), usaha mikro, kecil, dan menengah secara umum
memiliki karakteristik berikut: (i) manajemen berdiri sendiri, dengan perkataan
lain, tidak ada pemisahan yang tegas antara pemilik dan pengelola perusahaan;
(ii) pemilik biasanya juga berperan sebagai pengelola; (iii) modal umumnya
disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok kecil pemilik modal; (iv)
daerah operasinya umumnya lokal, walaupun adanya sejumlah kecil UMKM yang
memiliki orientasi lebih luas bahkan beroreintasi ekspor; (v) ukuran perusahaan
(firm size), baik dari segi total aset, jumlah karyawan maupun sarana prasarana
relatif kecil. Seiring dengan karakteristiknya yang spesifik tersebut, usaha
mikro, kecil, dan menengah memiliki beberapa kelemahan (weaknesses).
Kelemahan dimaksud, menurut Afiah
(2009) dan Kuncoro (2000) adalah:
1.) kekurangmampuan
dalam menangkap peluang pasar yang ada dan dalam memperluas pangsa pasar;
2.) kekurangmampuan
dan keterbatasan dalam mengakses sumber dana (modal) dan kelemahan dalam
struktur permodalan;
3.) rendahnya
kemampuan dalam bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia; (iv)
keterbatasan jaringan usaha kerjasama antarpelaku usaha mikro, kecil, dan
menengah; (v) berkaitan dengan kelamahan butir (v) adalah terciptanya iklim
usaha yang kurang kondusif, karena cenderung berkembang kea rah persaingan yang
saling mematikan; (vi) program pembinaan yang dilakukan masih kurang terpadu;
dan (vii) kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha
mikro, kecil, dan menengah.
Baik Afiah (2009) maupun Kuncoro (2000) bersepakat bahwa kelemahan-kelemahan yang bersifat
struktural di atas dapat diatasi dan akan menjadi sumber kekuatan, jika
diadakan perbaikan-perbaikan dalam struktur organisasi. Mendukung pendapat
kedua peneliti tersebut, Dipta (2007) dan Kumorotomo (2008) menyatakan bahwa
pemerintah menyadari bahwa upaya pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil,
dan menengah (UMKM) merupakan bagian penting dari upaya mewujudkan bangsa yang
berdaya-saing serta menciptakan pembangunan yang merata dan adil. Lebih jauh
Kumorotomo (2008) menjelaskan bahwa langkah pertama dalam upaya mengonversikan
kelemahan menjadi kekuatan adalah dengan mengubah asumsi yang memandang
koperasi dan UMKM sebagai lembaga usaha yang berskala terlalu kecil untuk
diperhatikan, lemah, terbelakang, dan, dengan sendirinya, patut dikasihani.
Oleh karena itu, menurut Dipta (2008),
program-program pemberdayaan tidak dikemas seperti program charity,
yang menganggap bahwa anggaran yang dikeluarkan semata-mata merupakan
alokasi dana sosial tanpa upaya untuk meningkatkan kemandirian dan kedewasaan
berpikir para pelaku usaha tersebut.
Tidak berbeda dengan usaha mikro, kecil, dan menengah, koperasi juga
memiliki sejumlah kelemahan. Tiga di antaranya yang paling menonjol, menurut
Partomo (2004), adalah:
a.) modal
anggota yang relatif sedikit dan lemah dalam pengelolaannya;
b.) kualitas
sumberdaya manusia yang mengelola koperasi yang relatif rendah (kemampuan
manajemen yang masih rendah);
c.) kurang
terjalinnya kerjasama, baik antar-pengurus, antar-anggota, antara pengurus dan
Pengawas maupun antara pengurus dan anggota; dan (iv) proses pengambilan
putusan yang bersifat demokratis cenderung menghasilkan putusan yang kurang
efisien.
Berkaitan dengan keempat kelemahan koperasi di atas, Widiyanto (1996),
sebagaimana disitasi oleh Tambunan (2008), menemukan bahwa pada umumnya
koperasi di Indonesia tidak memiliki daya saing dan dilihat dari posisi
bisnisnya sebagian besar koperasi berada pada posisi “bertahan” dan cenderung
ke arah “lemah.”
6.
Beberapa Alternatif Langkah ke Depan
Bertolak dari sejumlah kelemahan
yang dimiliki baik oleh koperasi maupun usaha mikro, kecil, dan menengah,
sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, sejumlah alternatif langkah
dapat ditawarkan untuk mengatasinya. Secara garis besar, langkah yang perlu
diambil untuk lebih memberdayakan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah, menurut Suarja (2007) adalah:
(1.) revitalisasi
peran koperasi dan perkuatan posisi usaha mikro, kecil, dan menengah dalam
system perkonomian nasional;
(2.) memperbaiki
akses koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah terhadap permodalan,
teknologi, informasi, dan pasar serta memperbaiki iklim usaha;
(3.) mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya pembangunan; dan
(4.) mengembangkan
potensi sumberdaya lokal. Secara lebih teknis, Dipta (2007) menawarkan
pendekatan 3C, yakni competition (persaingan—dalam bentuk sistem informasi
terbuka, sistem legal, model bisnis yang
dinamis, dan penguatan kapasitas pengurus/manajer), cooperation
(kerjasama—dalam bentuk kerjasama selektif, pendidikan dalam
penyusunan/perubahan model bisnis, dan kemitraan dengan public dan perguruan
tinggi), dan concentration (konsentrasi—dalam bentuk spesialisasi produk,
penentuan target produk).
Kedua pendekatan di atas lebih bersifat institusional atau
kelembagaan—dalam hal lembaga pemerintah yang bertanggungjawab atas
perkembangan dan pemberdayaan koperasi
dan usaha mikro, kecil, dan menengah. Dari sisi praktis, langkah yang perlu
diambil dalam upaya memberdayakan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, harus didasarkan pada kelemahan
yang ada. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan
hal yang pokok baik pada koperasi maupun maupun usaha mikro, kecil, dan
menengah.
Program pelatihan dan pendampingan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah yang bersifat terpadu dan berkesinambungan merupakan salah satu
pilihan terbaik. Namun, perlu ditekankan di sini bahwa aspek kemandirian harus
lebih diutamakan. Artinya, inisiatif pengadaan atau pelaksanaan program
pelatihan dan pendampingan harus berasal dari pihak pelaku usaha mikro, kecil,
dan menengah atau dari pihak pengurus dan anggota koperasi.
Langkah yang dapat dilakukan atau disumbangkan oleh pihak perguruan
tinggi untuk pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah
bertolak dari fungsi dan tugasnya yang tercakup dalam tri darma perguruan
tinggi: pendidikan; penelitian; dan pengabdian kepada masyarakat. Melalui
ketiga kegiatan tersebut perguruan tinggi dapat melakukan banyak hal, baik
berupa pendidikan (pelatihan dan pendampingan), penelitian (dalam upaya
menganalisis pelbagai aspek tentang koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah) maupun program pengabdian kepada masyarakat, yang fokus utamanya
adalah koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah dengan beragam aspek yang
berkaitan dengannya. Dengan pendekatan yang sistematis semua upaya yang dilakukan akan lebih efektif,
efisien, dan berkesinambungan.
7.
Simpulan
Koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah merupakan bentuk organisasi ekonomi yang selaras dengan sistem ekonomi
kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Melalui pemberdayaan koperasi dan usaha
mikro, kecil, dan menengah, pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan perumbuhan
yang dibarengi dengan pemerataan—di mana kesenjangan antara “si kaya” dan “si
miskin” semakin sempit, akan dapat diwujudkan. Upaya ke arah yang—saya
yakini—dicita-citakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia tersebut merupakan
tanggung jawab semua pihak atau semua pemangku kepentingan (stakeholders) yakni
rakyat di segala lapisan dan pemerintah. Peningkatan kualitas sumberdaya
manusia pelaku usaha dan pengelola/penguru serta anggota koperasi dalam arti
luas merupakan kunci dari semua upaya pemberdayaan koperasi dan usaha mikro,
kecil, dan menengah.
Referensi
a. Afiah,
N. N. (2009). “Peran Kewirausahaan dalam Memperkuat UKM Indonesia Menghadapi Krisis
Finansial Global.” Makalah disajikan dalam Research Day. Faculty of Economics.
Padjadjaran University. October 2009.
b. Baswir,
R. (2009) “Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberalisms.”
www.spi.or.id/wpcontent/uploads/PDF/001.pdf (diakses 2 April 2011) _____(2006)
“Ekonomi Kerakyatan” Makalah disajikan dalam Diskusi Bulanan Pusat Studi
Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 18 Mei 2006.
c. Dipta,
W. I. (2007) “Strategi Membangun Keunggulan Daya Saing Usaha Mikro, Kecil,
Menengah dan Koperasi di Indonesia dalam Era Perekonomian Baru.” Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional Sehari: “Revitalisasi Strategi Pembinaan Usaha
Kecil, Menengah dan Koperasi oleh Pemerintah/BUMN dalam Perekonomian Baru.”
Jakarta. ____(2008) “Revitalisasi dan Optimalisasi Pengembangan Sumberdaya
Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah di Era Global.”
www.smecda.com/deputi7/file.../reorientasi_sumberdaya.pdf (diakses 30 Maret
2011).
d. Hariyono.
(2003). “Koperasi Sebagai Strategi Pengembangan Ekonomi Pancasila.”Jurnal
Ekonomi Rakyat. Tahun II. No. 4. Juli 2003. Kartasasmita, G. (2007).
“Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dengan Koperasi.” Makalah disampaikan pada
Diskusi Nasional ICMI “Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dengan Koperasi” Bappenas,
Jakarta, 27 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar