REVIEW 3 ANALISIS DAN
PENGEMBANGAN
PEMBERDAYAAN LEMBAGA
KEUANGAN MIKRO
SEBAGAI SALAH SATU
PILAR SISTEM KEUANGAN NASIONAL:
UPAYA KONKRIT MEMUTUS
MATA RANTAI KEMISKINAN
OLEH :
Wiloejo Wirjo Wijono
III.
Analisis Perkembangan LKM dan UKM dalam Memutus
Mata Rantai Kemiskinan
Menganalisis keberadaan LKM tidak
terlepas perkembangan UKM dan perkembangan LKM itu sendiri di Indonesia.
Keberadaan LKM muncul seiiring dengan pesatnya aktifitas UKM namun di sisi lain
dihadapkan pada kendala keterbatasan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari
lembaga-lembaga keuangan formal. Pembahasan disini akan diawali dengan perkembangan UKM, kemudian dilanjutkan
dengan darimana UKM memperoleh sumber-sumber permodalan, perkembangan LKM dan diakhiri
dengan uraian potensi dan permasalahan LKM di masa mendatang.
3.1
Perkembangan UKM
Berdasarkan
Data BPS tahun 2005, kondisi UKM periode 2001 sampai 2004 menunjukkan
perkembangan positif. Selama periode
ini, kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto rata-rata mencapai 56,04
persen. Secara sektoral aktivitas UKM ini mendominasi sektor pertanian,
bangunan, perdagangan, hotel dan restoran (Tabel 1). Sektor-sektor ini
merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
Kemampuan sektor usaha dalam menciptakan nilai tambah sangat berbeda
antara satu kelompok usaha dengan lainnya dan mencerminkan karakteristik
masing-masing pelaku usaha. Data BPS tahun 2005, menunjukkan bahwa dari jumlah
43,22 juta unit UKM tahun 2004 meningkat 1,61 persen dibandingkan dengan tahun 2003,
dan jumlah ini merupakan bagian terbesar pelaku usaha di Indonesia. Sementara
tenaga kerja yang diserap oleh UKM tahun 2004 mencapai 70,92 juta orang, turun
0,25 persen dibandingkan tahun 2003. (Tabel 2)
Perkembangan kontribusi UKM dan kemampuannya dalam menyerap tenaga
kerja selama periode diatas menggambarkan produktivitas pelaku UKM.
Produktivitas Usaha Kecil sebesar Rp10,37 juta per tenaga kerja tahun 2003,
meningkat cukup besar pada tahun 2004 menjadi Rp11,57 juta per tenaga kerja.
Sementara itu produktivitas kelompok Usaha Menengah dan Besar pada tahun 2003
masing-masing sebesar Rp33,70 juta dan Rp1,87 miliar per tenaga kerja per
tahun. Pada tahun 2004 besaran ini meningkat masing-masing menjadi Rp38,71 juta
dan Rp2,22 miliar per tenaga kerja per tahun.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa masing-masing kelompok usaha
memiliki keunggulan komparatif dan saling melengkapi satu dengan lainnya.
Kelompok Usaha Besar memiliki potensi sebagai motor pertumbuhan, sementara
kelompok Usaha Kecil sebagai penyeimbang pemerataan dan penyerapan tenaga
kerja. Namun, hal ini juga memperlihatkan bahwa unit-unit usaha kecil dan
menengah pada umumnya masih menjadi sandaran hidup masyarakat kecil yang
jumlahnya besar.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan UKM masih
menunjukkan perkembangan yang bervariasi. Data Survei Usaha Tertintegrasi
(SUSI) yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2001, menunjukkan bahwa dari
14.660.645 UKM yang tidak berbadan
hukum, tercatat 2.131.810 UKM
yang memanfaatkan pinjaman dalam upaya mendukung proses pengembangan usahanya.
Sumber–sumber permodalan yang tersedia bagi UKM dikategorikan dalam perbankan,
koperasi, lembaga keuangan non bank, modal
ventura, perorangan, keluarga/famili, dan lain-lain. Dari total UKM yang
memanfaatkan pinjaman, sumber pinjaman yang berasal dari lain-lain masih
menduduki posisi teratas dalam memberikan pelayanan terhadap kebutuhan
permodalan UKM yaitu sebanyak 639.688 UKM atau 30,01 persen, koperasi mampu
memberikan pelayanan kepada 84.037 UKM atau 3,94 persen, selebihnya adalah dari
sumber perorangan sebanyak 605.191 UKM atau 28,39 persen; perbankan sebanyak
361.688 UKM atau 16,97 persen; keluarga/famili sebanyak 350.419 UKM atau
16,44 persen; lembaga keuangan non bank sebanyak 74.785 UKM atau 3,51 persen
dan modal ventura sebanyak 16.002 UKM atau 0,75 persen.
Sedangkan pada survei yang dilakukan pada tahun 2002, hasilnya
menunjukkan adanya perubahan dibandingkan tahun 2001 dimana sumber permodalan koperasi tercatat
mampu memberikan pelayanan kepada 101.025 UKM atau mengalami peningkatan
sebesar 20,21 persen. Perorangan sebanyak 742.326 UKM atau mengalami
peningkatan sebesar 22,66 persen,
Keluarga/famili sebanyak 413.174 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 17,91
persen.
Pembiayaan yang bersumber dari lembaga
keuangan non bank sebanyak 82.962 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 10,93
persen, perbankan sebanyak 385.383 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 6,55
persen dan sumber permodalan lainnya sebanyak 661.629 UKM atau mengalami
peningkatan sebesar 3,43 persen.Sedangkan sumber permodalan yang berasal dari
modal ventura mengalami penurunan dari tahun sebelumnya hingga mencapai 50,18
persen yaitu dari 16.002 UKM menjadi 7.972 UKM. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar UKM belum tersentuh oleh lembaga-lembaga keuangan (Gambar
1).
Sedangkan pada survei yang dilakukan pada tahun 2002, hasilnya menunjukkan adanya perubahan dibandingkan tahun 2001 dimana sumber permodalan koperasi tercatat mampu memberikan pelayanan kepada 101.025 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 20,21 persen. Perorangan sebanyak 742.326 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 22,66 persen, Keluarga/famili sebanyak 413.174 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 17,91 persen.
Sedangkan pada survei yang dilakukan pada tahun 2002, hasilnya menunjukkan adanya perubahan dibandingkan tahun 2001 dimana sumber permodalan koperasi tercatat mampu memberikan pelayanan kepada 101.025 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 20,21 persen. Perorangan sebanyak 742.326 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 22,66 persen, Keluarga/famili sebanyak 413.174 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 17,91 persen.
3.2 Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro dan
Permasalahannya
Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) terjadi seiring dengan
perkembangan UKM serta masih banyaknya hambatan UKM dalam mengakses
sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal. Selain itu berkembangnya LKM juga tidak terlepas dari
karakterisitik LKM yang memberikan kemudahan kepada pelaku UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan.
Walaupun biaya atas dana pinjaman
dari LKM lebih tinggi sedikit dari tingkat bunga perbankan, LKM memberikan
kelebihan misalnya berupa tiadanya jaminan/agunan seperti yang dipersyaratkan
oleh perbankan bahkan dalam beberapa jenis LKM pinjaman didasarkan pada
kepercayaan karena biasanya peminjam beserta aktivitasnya sudah dikenal oleh
LKM, kemudahan yang lain adalah pencairan
dan pengembalian pinjaman yang fleksibel yang juga sering disesuaikan dengan
cash flow peminjam.
Jenis LKM lebih banyak didominasi oleh
Unit Simpan Pinjam (USP), namun dari aspek besarnya perputaran pinjaman lebih didominasi oleh perbankan yaitu BRI
Unit dan BPR. Hal ini terjadi karena skim kredit yang ditawarkan oleh BRI Unit
dan BPR lebih besar daripada USP. Perkembangan LKM dapat dilihat pada indikator tabel 4.
Dari data diatas, terlihat bahwa
jumlah UMKM yang berjumlah 42 jutaan ternyata yang menikmati akses permodalan
dari lembaga-lembaga keuangan baik perbankan maupun LKM hanya sebesar 22,14
persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa fungsi intermediasi lembaga perbankan
tidak berjalan dengan baik serta masih lebarnya permasalahan yang dihadapi oleh
UMKM. Namun, di sisi yang lain hal ini juga memberikan potensi yang sangat
besar dalam penyaluran kredit karena masih terbuka pasar yang luas untuk
skim-skim kredit skala mikro.
Selain berbagai peluang di atas,
perkembangan LKM masih dihadapkan pada berbagai kendala baik hambatan internal
LKM maupun kondisi eksternal LKM yang kurang kondusif. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh LKM adalah aspek kelembagaan,
yang antara lain mengakibatkan bentuk LKM beraneka ragam. BRI Unit dan BPR
sebagai bagian dari LKM secara kelembagaan lebih jelas karena mengacu pada
ketentuan perbankan dengan pembinaan
dari Bank Indonesia, sehingga LKM jenis ini lebih terarah bahkan
terjamin kepercayaannya karena merupakan bagian dari kerangka Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) dan berhak mendapatkan fasilitas dari Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS).
Sedangkan pada LKM yang berbentuk
koperasi simpan pinjam atau unit simpan pinjam, segala ketentuan operasional
dan arah pengembangannya mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Bahkan, bagi LKM lainnya yang berbentuk Bank
Kredit Desa, LDKP, credit union maupun
lembaga non pemerintah lainnya tidak jelas kelembagaan dan pembinaannya.
Padahal, fungsi LKM tidak berbeda dengan lembaga perbankan formal dalam hal
sebagai lembaga intermediasi keuangan, yang didalamnya juga mengemban
kepercayaan dari nasabah atau anggota yang menempatkan dananya. Kondisi
kelembagaan yang beragam dan tidak jelas tersebut, akan dapat mempersulit
pengembangan LKM di masa mendatang. Padahal secara fakta LKM mempunyai peranan
yang signifikan dalam mendukung perkembangan UKM. Kondisi infrastruktur dan
kelembagaan LKM secara ringkas terlihat dalam Tabel 5.
Selain masalah eksternal di atas, LKM
juga dihadapkan masalah internal yang menyangkut aspek operasional dan
pemberdayaan usaha. Masalah pertama menyangkut kemampuan LKM dalam menghimpun
dana, sebagian besar LKM masih terbatas kemampuannya karena masih bergantung
sedikit banyaknya anggota atau besaran modal sendiri. Kemampuan SDM LKM dalam
mengelola usaha sebagian besar masih terbatas, sehingga dalam jangka panjang
akan mempengaruhi perkembangan usaha LKM bahkan dapat menghambat. Ringkasan
permasalahan LKM disajikan dalam Tabel 6.
3.1
Dampak Keberadaan LKM Dalam Memutus Mata Rantai
Kemiskinan
Sebagaimana diketahui bahwa
pinjaman mikro dapat digunakan membantu UKM dalam mengakses sumber-sumber
pembiayaan, dan karakteristik UKM jika dilihat dari aspek pendapatan lebih
mendekati kelompok masyarakat yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan
ekonomi (economically active working poor) dan masyarakat yang berpenghasilan
rendah (lower income) yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak.
Kelompok masyarakat ini akan cenderung tetap berpenghasilan rendah bahkan
menjadi miskin, jika kesulitan yang mereka hadapi dalam melakukan aktifitas
usaha tetap dibiarkan tanpa ada usaha-usaha perbaikan.
Keberadaan LKM yang relatif mampu
menjawab kesulitan tersebut ternyata selaras dengan perkembangan UKM. Walaupun
kontribusi dalam pembiayaan dalam skala nasional masih kecil dibandingkan dengan peran lembaga perbankan formal, namun
terdapat potensi yang besar yang dapat dimanfaatkan LKM untuk memperbesar
perannya dalam pembiayaan UKM yang ditunjukkan dengan masih banyak jumlah UKM
yang belum memanfaatkan akses pembiayaan dari lembaga keuangan serta masih
sulitnya akses pembiayaan dari lembaga perbankan. Sehingga tumpuan terbesar
adalah LKM.
Data pada tabel 1 dan gambar 1
diatas menunjukkan bahwa jumlah UKM yang berjumlah 42 jutaan ternyata yang
menikmati akses permodalan dari lembaga-lembaga keuangan baik perbankan maupun
LKM hanya sebesar 22,14 persen. Jika jumlah UKM yang belum memanfaatkan kredit
mikro sekitar 30 jutaan unit, misalnya satu persen-nya memanfaatkan kredit
mikro rata-rata sebesar Rp 2 juta maka akan muncul potensi permintaan kredit
mikro total sebesar 0,3 juta unit x Rp 2 juta = Rp 600 triliun. Jumlah ini
tentu tidak semuanya dimanfaatkan oleh lembaga perbankan, tetapi akan lebih
banyak melalui LKM. Selain jumlah pasar kredit mikro yang masih luas, potensi
yang masih besar bagi LKM adalah karakterisitik dari LKM itu sendiri. LKM
umumnya dalam penyaluran kreditnya menyesuaikan dengan kondisi masyarakat
setempat.
Jika contoh diatas dijalankan, maka
akan membawa effect multiplier yang luar
biasa karena akan dapat menggerakkan roda perekonomian. Bergulirnya aktivitas
UKM akan meningkatkan proses produksi, menyerap tenaga kerja, dan pada akhirnya
akan meningkatkan pendapatan kalangan pelaku UKM. Dan pada akhirnya akan
meningkatkan pendapatan masyarakat miskin.
3.2
Upaya-upaya Pemecahan Masalah
Berpijak pada kondisi dan
permasalahan LKM diatas, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan guna
mengembangkan LKM dan bahkan menjadikannya sebagai bagian dari sistem keuangan
nasional yang mencakup:
3.2.1
Memperkuat Kelembagaan LKM
Keberadaan LKM tersebar di berbagai
bidang dengan instansi pembina yang
berbeda-beda mulai dari Bank Indonesia,
Departemen/Dinas Perkoperasian dan UKM hingga pemerintah daerah. Kondisi ini
terjadi karena belum ada ketentuan yang mengatur secara jelas keberadaan LKM,
walaupun ada masih parsial. Kelembagaan ini sangat penting karena secara hukum
akan melandasi operasional mereka, namun harus dihindari dengan adanya
ketentuan akan menghambat perkembangan LKM itu sendiri. Upaya yang saat ini
sedang dilakukan oleh pemerintah dengan merancang Rancangan Undang-Undang
tentang LKM hendaknya dilakukan secara intensif dan mendalam dalam arti muatan
RUU ini harus mencerminkan karakteristik LKM di Indonesia, agar tujuan yang
diinginkan tercapai.
Aspek lain yang perlu diperhatikan,
bahwa LKM sebagaimana lembaga-lembaga keuangan formal lainnya menempatkan
faktor kepercayaan sebagai hal yang utama dalam perekonomian. Jika Bank
Indonesia mempunyai Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sebagai blue print
dalam mengembangkan dan memperkuat lembaga perbankan menjadi industri keuangan
yang tangguh, maka pemerintah hendaknya juga memiliki blue print yang sama dalam pengembangan dan
penguatan industri LKM. Kenyataan menunjukkan industri perbankan yang tangguh
tidak otomatis mengangkat UKM menjadi lebih besar, karena sangat sedikit porsi
pembiayaan yang disediakan untuk pelaku UKM.
Bila LKM sudah diarahkan untuk
menjadi lebih kuat, maka harus
dilanjutkan dengan dukungan yang lain, misalnya banyak LKM yang mengandalkan
penerimaannya dari sumber-sumber pihak ketiga yang mayoritas dari perorangan.
Untuk memberi rasa aman dan percaya masyarakat kepada eksistensi LKM wajar jika
pemerintah memberikan jaminan atas uang yang telah ditempatkan masyarakat
kepada LKM, misalnya semacam jaminan atas simpanan yang ditempatkan para
nasabah di lembaga perbankan. Begitu pula dengan kredit yang telah disalurkan
kepada masyarakat.
3.2.2
Komitmen Dalam Memperkuat UKM
Perkembangan LKM pada dasarnya
mengikuti perkembangan aktifitas usaha
para pelaku UKM, jika UKM semakin menghasilkan nilai
tambah yang semakin besar maka kebutuhan akan pembiayaan bagi UKM semakin besar pula yang berarti pasar usaha
LKM semakin terbuka luas. Sehingga usaha-usaha untuk memperkuat UKM menjadi
bagian yang tidak terpisahkan jika menginginkan LKM semakin kuat.
Sebagaimana diawal telah diungkapkan,
masalah pokok UKM mencakup pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas
produk-produk yang dihasilkannya, kedua,
masih lemahnya pengembangan dan penguatan usaha serta ketiga, keterbatasan
akses terhadap sumber-sumber pembiyaan dari lembaga-lembaga keuangan formal
khususnya dari perbankan. Masalah pertama dan kedua yang akan menjadi pusat
perhatian, upaya untuk membuka pasar secara luas terhadap produk-produk UKM
merupakan hal yang utama. Begitu pula upaya-upaya pendampingan dalam penguatan
dan pengembangan usaha UKM masih terbuka untuk dijalankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar