Bobblehead Bunny




Sabtu, 17 November 2012

3. Analisis dan Pengembangan : Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan


REVIEW 3 ANALISIS DAN PENGEMBANGAN
PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
SEBAGAI SALAH SATU PILAR SISTEM KEUANGAN NASIONAL:
UPAYA KONKRIT MEMUTUS MATA RANTAI KEMISKINAN
OLEH     :
Wiloejo Wirjo Wijono

III.                Analisis Perkembangan LKM dan UKM dalam Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Menganalisis keberadaan LKM tidak terlepas perkembangan UKM dan perkembangan LKM itu sendiri di Indonesia. Keberadaan LKM muncul seiiring dengan pesatnya aktifitas UKM namun di sisi lain dihadapkan pada kendala keterbatasan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal. Pembahasan disini akan diawali  dengan perkembangan UKM, kemudian dilanjutkan dengan darimana UKM memperoleh sumber-sumber permodalan, perkembangan LKM dan diakhiri dengan uraian potensi dan permasalahan LKM di masa mendatang.
3.1               Perkembangan UKM
Berdasarkan Data BPS tahun 2005, kondisi UKM periode 2001 sampai 2004 menunjukkan perkembangan positif. Selama  periode ini, kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto rata-rata mencapai 56,04 persen. Secara sektoral aktivitas UKM ini mendominasi sektor pertanian, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran (Tabel 1). Sektor-sektor ini merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja.


Kemampuan sektor usaha dalam menciptakan nilai tambah sangat berbeda antara satu kelompok usaha dengan lainnya dan mencerminkan karakteristik masing-masing pelaku usaha. Data BPS tahun 2005, menunjukkan bahwa dari jumlah 43,22 juta unit UKM tahun 2004 meningkat 1,61 persen dibandingkan dengan tahun 2003, dan jumlah ini merupakan bagian terbesar pelaku usaha di Indonesia. Sementara tenaga kerja yang diserap oleh UKM tahun 2004 mencapai 70,92 juta orang, turun 0,25 persen dibandingkan tahun 2003. (Tabel 2)
Perkembangan kontribusi UKM dan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja selama periode diatas menggambarkan produktivitas pelaku UKM. Produktivitas Usaha Kecil sebesar Rp10,37 juta per tenaga kerja tahun 2003, meningkat cukup besar pada tahun 2004 menjadi Rp11,57 juta per tenaga kerja. Sementara itu produktivitas kelompok Usaha Menengah dan Besar pada tahun 2003 masing-masing sebesar Rp33,70 juta dan Rp1,87 miliar per tenaga kerja per tahun. Pada tahun 2004 besaran ini meningkat masing-masing menjadi Rp38,71 juta dan Rp2,22 miliar per tenaga kerja per tahun.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa masing-masing kelompok usaha memiliki keunggulan komparatif dan saling melengkapi satu dengan lainnya. Kelompok Usaha Besar memiliki potensi sebagai motor pertumbuhan, sementara kelompok Usaha Kecil sebagai penyeimbang pemerataan dan penyerapan tenaga kerja. Namun, hal ini juga memperlihatkan bahwa unit-unit usaha kecil dan menengah pada umumnya masih menjadi sandaran hidup masyarakat kecil yang jumlahnya besar.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan UKM masih menunjukkan perkembangan yang bervariasi. Data Survei Usaha Tertintegrasi (SUSI) yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2001, menunjukkan bahwa dari 14.660.645 UKM yang tidak berbadan  hukum, tercatat 2.131.810  UKM yang memanfaatkan pinjaman dalam upaya mendukung proses pengembangan usahanya. Sumber–sumber permodalan yang tersedia bagi UKM dikategorikan dalam perbankan, koperasi, lembaga keuangan non bank, modal  ventura, perorangan, keluarga/famili, dan lain-lain. Dari total UKM yang memanfaatkan pinjaman, sumber pinjaman yang berasal dari lain-lain masih menduduki posisi  teratas  dalam memberikan pelayanan terhadap kebutuhan permodalan UKM yaitu sebanyak 639.688 UKM atau 30,01 persen, koperasi mampu memberikan pelayanan kepada 84.037 UKM atau 3,94 persen, selebihnya adalah dari sumber perorangan sebanyak 605.191 UKM atau 28,39 persen; perbankan sebanyak 361.688 UKM atau  16,97 persen;  keluarga/famili sebanyak 350.419 UKM atau 16,44 persen; lembaga keuangan non bank sebanyak 74.785 UKM atau 3,51 persen dan modal ventura sebanyak 16.002 UKM atau 0,75 persen.
Sedangkan pada survei yang dilakukan pada tahun 2002, hasilnya menunjukkan adanya perubahan dibandingkan tahun 2001  dimana sumber permodalan koperasi tercatat mampu memberikan pelayanan kepada 101.025 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 20,21 persen. Perorangan sebanyak 742.326 UKM atau mengalami peningkatan  sebesar 22,66 persen, Keluarga/famili sebanyak 413.174 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 17,91 persen.
Pembiayaan yang bersumber dari lembaga keuangan non bank sebanyak 82.962 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 10,93 persen, perbankan sebanyak 385.383 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 6,55 persen dan sumber permodalan lainnya sebanyak 661.629 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 3,43 persen.Sedangkan sumber permodalan yang berasal dari modal ventura mengalami penurunan dari tahun sebelumnya hingga mencapai 50,18 persen yaitu dari 16.002 UKM menjadi 7.972 UKM. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar UKM belum tersentuh oleh lembaga-lembaga keuangan (Gambar 1).
Sedangkan pada survei yang dilakukan pada tahun 2002, hasilnya menunjukkan adanya perubahan dibandingkan tahun 2001 dimana sumber permodalan koperasi tercatat mampu memberikan pelayanan kepada 101.025 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 20,21 persen. Perorangan sebanyak 742.326 UKM atau mengalami peningkatan  sebesar 22,66 persen, Keluarga/famili sebanyak 413.174 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 17,91 persen.
3.2             Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro dan Permasalahannya
Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terjadi seiring dengan  perkembangan UKM serta masih banyaknya hambatan UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal. Selain itu  berkembangnya LKM juga tidak terlepas dari karakterisitik LKM yang memberikan kemudahan kepada pelaku UKM dalam  mengakses sumber-sumber pembiayaan.
Walaupun biaya atas dana pinjaman dari LKM lebih tinggi sedikit dari tingkat bunga perbankan, LKM memberikan kelebihan misalnya berupa tiadanya jaminan/agunan seperti yang dipersyaratkan oleh perbankan bahkan dalam beberapa jenis LKM pinjaman didasarkan pada kepercayaan karena biasanya peminjam beserta aktivitasnya sudah dikenal oleh LKM,  kemudahan yang lain adalah pencairan dan pengembalian pinjaman yang fleksibel yang juga sering disesuaikan dengan cash flow peminjam.
Jenis LKM lebih banyak didominasi oleh Unit Simpan Pinjam (USP), namun dari aspek besarnya perputaran pinjaman  lebih didominasi oleh perbankan yaitu BRI Unit dan BPR. Hal ini terjadi karena skim kredit yang ditawarkan oleh BRI Unit dan BPR lebih besar daripada USP. Perkembangan LKM  dapat dilihat pada indikator tabel 4.
Dari data diatas, terlihat bahwa jumlah UMKM yang berjumlah 42 jutaan ternyata yang menikmati akses permodalan dari lembaga-lembaga keuangan baik perbankan maupun LKM hanya sebesar 22,14 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa fungsi intermediasi lembaga perbankan tidak berjalan dengan baik serta masih lebarnya permasalahan yang dihadapi oleh UMKM. Namun, di sisi yang lain hal ini juga memberikan potensi yang sangat besar dalam penyaluran kredit karena masih terbuka pasar yang luas untuk skim-skim kredit skala mikro.
Selain berbagai peluang di atas, perkembangan LKM masih dihadapkan pada berbagai kendala baik hambatan internal LKM maupun kondisi eksternal LKM yang kurang kondusif. Kondisi eksternal  yang dihadapi oleh LKM adalah aspek kelembagaan, yang antara lain mengakibatkan bentuk LKM beraneka ragam. BRI Unit dan BPR sebagai bagian dari LKM secara kelembagaan lebih jelas karena mengacu pada ketentuan perbankan dengan pembinaan  dari Bank Indonesia, sehingga LKM jenis ini lebih terarah bahkan terjamin kepercayaannya karena merupakan bagian dari kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan berhak mendapatkan fasilitas dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sedangkan pada LKM yang berbentuk koperasi simpan pinjam atau unit simpan pinjam, segala ketentuan operasional dan arah pengembangannya mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Bahkan, bagi LKM lainnya yang berbentuk Bank Kredit Desa, LDKP,  credit union maupun lembaga non pemerintah lainnya tidak jelas kelembagaan dan pembinaannya. Padahal, fungsi LKM tidak berbeda dengan lembaga perbankan formal dalam hal sebagai lembaga intermediasi keuangan, yang didalamnya juga mengemban kepercayaan dari nasabah atau anggota yang menempatkan dananya. Kondisi kelembagaan yang beragam dan tidak jelas tersebut, akan dapat mempersulit pengembangan LKM di masa mendatang. Padahal secara fakta LKM mempunyai peranan yang signifikan dalam mendukung perkembangan UKM. Kondisi infrastruktur dan kelembagaan LKM secara ringkas terlihat dalam Tabel 5.
Selain masalah eksternal di atas, LKM juga dihadapkan masalah internal yang menyangkut aspek operasional dan pemberdayaan usaha. Masalah pertama menyangkut kemampuan LKM dalam menghimpun dana, sebagian besar LKM masih terbatas kemampuannya karena masih bergantung sedikit banyaknya anggota atau besaran modal sendiri. Kemampuan SDM LKM dalam mengelola usaha sebagian besar masih terbatas, sehingga dalam jangka panjang akan mempengaruhi perkembangan usaha LKM bahkan dapat menghambat. Ringkasan permasalahan LKM disajikan dalam Tabel 6.
3.1               Dampak Keberadaan LKM Dalam Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Sebagaimana diketahui bahwa pinjaman mikro dapat digunakan membantu UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan, dan karakteristik UKM jika dilihat dari aspek pendapatan lebih mendekati kelompok masyarakat yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) dan masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income) yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak. Kelompok masyarakat ini akan cenderung tetap berpenghasilan rendah bahkan menjadi miskin, jika kesulitan yang mereka hadapi dalam melakukan aktifitas usaha tetap dibiarkan tanpa ada usaha-usaha perbaikan.
Keberadaan LKM yang relatif mampu menjawab kesulitan tersebut ternyata selaras dengan perkembangan UKM. Walaupun kontribusi dalam pembiayaan dalam skala nasional masih kecil dibandingkan  dengan peran lembaga perbankan formal, namun terdapat potensi yang besar yang dapat dimanfaatkan LKM untuk memperbesar perannya dalam pembiayaan UKM yang ditunjukkan dengan masih banyak jumlah UKM yang belum memanfaatkan akses pembiayaan dari lembaga keuangan serta masih sulitnya akses pembiayaan dari lembaga perbankan. Sehingga tumpuan terbesar adalah LKM.
Data pada tabel 1 dan gambar 1 diatas menunjukkan bahwa jumlah UKM yang berjumlah 42 jutaan ternyata yang menikmati akses permodalan dari lembaga-lembaga keuangan baik perbankan maupun LKM hanya sebesar 22,14 persen. Jika jumlah UKM yang belum memanfaatkan kredit mikro sekitar 30 jutaan unit, misalnya satu persen-nya memanfaatkan kredit mikro rata-rata sebesar Rp 2 juta maka akan muncul potensi permintaan kredit mikro total sebesar 0,3 juta unit x Rp 2 juta = Rp 600 triliun. Jumlah ini tentu tidak semuanya dimanfaatkan oleh lembaga perbankan, tetapi akan lebih banyak melalui LKM. Selain jumlah pasar kredit mikro yang masih luas, potensi yang masih besar bagi LKM adalah karakterisitik dari LKM itu sendiri. LKM umumnya dalam penyaluran kreditnya menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
Jika contoh diatas dijalankan, maka akan membawa  effect multiplier yang luar biasa karena akan dapat menggerakkan roda perekonomian. Bergulirnya aktivitas UKM akan meningkatkan proses produksi, menyerap tenaga kerja, dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan kalangan pelaku UKM. Dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat miskin.

3.2               Upaya-upaya Pemecahan Masalah
Berpijak pada kondisi dan permasalahan LKM diatas, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan guna mengembangkan LKM dan bahkan menjadikannya sebagai bagian dari sistem keuangan nasional yang mencakup:
3.2.1          Memperkuat Kelembagaan LKM
Keberadaan LKM tersebar di berbagai bidang dengan instansi pembina yang
berbeda-beda mulai dari Bank Indonesia, Departemen/Dinas Perkoperasian dan UKM hingga pemerintah daerah. Kondisi ini terjadi karena belum ada ketentuan yang mengatur secara jelas keberadaan LKM, walaupun ada masih parsial. Kelembagaan ini sangat penting karena secara hukum akan melandasi operasional mereka, namun harus dihindari dengan adanya ketentuan akan menghambat perkembangan LKM itu sendiri. Upaya yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah dengan merancang Rancangan Undang-Undang tentang LKM hendaknya dilakukan secara intensif dan mendalam dalam arti muatan RUU ini harus mencerminkan karakteristik LKM di Indonesia, agar tujuan yang diinginkan tercapai.
Aspek lain yang perlu diperhatikan, bahwa LKM sebagaimana lembaga-lembaga keuangan formal lainnya menempatkan faktor kepercayaan sebagai hal yang utama dalam perekonomian. Jika Bank Indonesia mempunyai Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sebagai blue print dalam mengembangkan dan memperkuat lembaga perbankan menjadi industri keuangan yang tangguh, maka pemerintah hendaknya juga memiliki  blue print yang sama dalam pengembangan dan penguatan industri LKM. Kenyataan menunjukkan industri perbankan yang tangguh tidak otomatis mengangkat UKM menjadi lebih besar, karena sangat sedikit porsi pembiayaan yang disediakan untuk pelaku UKM.
Bila LKM sudah diarahkan untuk menjadi  lebih kuat, maka harus dilanjutkan dengan dukungan yang lain, misalnya banyak LKM yang mengandalkan penerimaannya dari sumber-sumber pihak ketiga yang mayoritas dari perorangan. Untuk memberi rasa aman dan percaya masyarakat kepada eksistensi LKM wajar jika pemerintah memberikan jaminan atas uang yang telah ditempatkan masyarakat kepada LKM, misalnya semacam jaminan atas simpanan yang ditempatkan para nasabah di lembaga perbankan. Begitu pula dengan kredit yang telah disalurkan kepada masyarakat.

3.2.2          Komitmen Dalam Memperkuat UKM
Perkembangan LKM pada dasarnya mengikuti perkembangan aktifitas usaha
para pelaku UKM, jika UKM semakin menghasilkan nilai tambah yang semakin besar maka kebutuhan akan pembiayaan bagi UKM  semakin besar pula yang berarti pasar usaha LKM semakin terbuka luas. Sehingga usaha-usaha untuk memperkuat UKM menjadi bagian yang tidak terpisahkan jika menginginkan LKM semakin kuat.
Sebagaimana diawal telah diungkapkan, masalah pokok UKM mencakup pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas produk-produk yang dihasilkannya,  kedua, masih lemahnya pengembangan dan penguatan usaha serta ketiga, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiyaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya dari perbankan. Masalah pertama dan kedua yang akan menjadi pusat perhatian, upaya untuk membuka pasar secara luas terhadap produk-produk UKM merupakan hal yang utama. Begitu pula upaya-upaya pendampingan dalam penguatan dan pengembangan usaha UKM masih terbuka untuk dijalankan.

Sumber                                : http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/adoku/wiloejo-1.pdf




Tidak ada komentar:

Posting Komentar