Bobblehead Bunny




Sabtu, 17 November 2012

10. Abstrak dan Pendahuluan : Peringkat Propinsi Dalam Membangun Ekonomi Koperasi Analisis Berdasarkan INDEKS PEKR


REVIEW 10 ABSTRAK DAN PENDAHULUAN
PERINGKAT PROPINSI DALAM MEMBANGUN EKONOMI KOPERASI
ANALISIS BERDASARKAN INDEKS PEKR
OLEH  :
Johnny W. Situmorang

Abstrak
Cooperative  Economic  development  is  an  integral  part  of  national  economic development. The higher capacity of  the region  in national economy,  it should be reflected on the higher regional cooperative economy.
In  the  era  of  regional  outonomy,  cooperative  developmet  constitutes  one  of  the main authorities  of  the  head  of  the  regions.  In  compliance  with  the  environmental  and  climate changes, every province will spur  to developing cooperative economy  to materalizing people’s economy.
One of  the  encouragements  to  enhance  inter  regional  competition  is by  identifying  the position of the province nationally. By using regional cooperative economic performance/PEKR index,  then  the provincial  rank  in could be  identified. The  result of  the analysis  shows a good performance of one province is not always indicated by the high regional economy capacity in the  national  economy.  In,  2006  the  highest  rank was achieved  by  the Province  of Gorontalo, although  this province having  low  regional  economic  capacity, but  it was able  to  create  very high cooperative economy.

Ukuran ekonomi koperasi regional, ukuran ekonomi regional, kapasitas
regional, indeks PEKR, rating, peringkat

I.                    Pendahuluan

Pasca  krisis  ekonomi  Indonesia  telah  memasuki  usia  satu  dekade.  Kemajuan perekonomian  Indonesia  secara  mendasar  masih  belum  signifikan,  meskipun  stabilitas ekonomi makro telah pulih, khususnya dari indikator nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi yang  terkendali,  dan  neraca  perdagangan  luar  negeri  yang  positif,  yang  didukung  oleh  stabilitas  politik.  Sektor  riil masih  belum  berkembang  secara  signifikan  sejalan  dengan stabilitas makro.  Perekonomian secara mikro masih belum terpulihkan secara nyata karena
engine of growth yang penting, yakni investasi dan dunia usaha, belum terpulihkan. Pangsa investasi  terhadap  PDB  masih  sekitar  22%  selama  ini,  sangat  jauh  dari  harapan  untuk menjamin bergeraknya sektor  riil. Untuk stabilitas sektor  riil semestinya pangsa  investasi terhadap  PDB  (Produk  Domestik  Bruto)  di  atas  35%.  Sementara  target  pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan dukungan investasi yang tinggi pula baik dari investasi langsung nasional maupun asing (FDI).  Dunia usaha, khususnya lembaga koperasi, belum menjadi andalan dalam menggerakkan sumberdaya domestik. Itu sebabnya, pengangguran dan kemiskinan masih menjadi persoalan pokok pembangunan ekonomi yang tidak hanya di  perdesaan  juga  sudah  menggapai  perkotaan.  Pengangguran  dan  kemiskinan  di  kota terjadi  lebih  diperparah  oleh  urbanisasi  orang-orang  dari  pedesaan  yang  umumnya  tidak mempunyai keterampilan dan keahlian di bidang usaha yang berciri perkotaan.
Persoalan  mendasar  yang  menjadi  penentu  kemampuan  menarik  investasi  ke Indonesia  adalah  iklim  investasi  dan  bisnis  yang  tidak  kondusif.  Dari  berbagai  survey nasional dan  internasional menyangkut bisnis dan ekonomi,  Indonesia selalu berada pada posisi  yang  rendah  dibandingkan  dengan  negara-negara  lain.  Artinya,  Indonesia  belum menjadi  negara  tujuan  investasi.  Kalaupun  ada  aliran  investasi  ke  Indonesia  belum menyentuh  bidang  usaha  yang menjadi  andalan  perekonomian  dan masih  terlihat  dunia
usaha  lebih menyukai  pusat  operasinya  di  regional  (daerah)  tertentu  saja,  khususnya  di
Pulau  Jawa dan Pulau Bali. Aliran  investasi dalam  rangka PMDN dan PMA  separuhnya masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, dan sisanya dibagi oleh regional lainnya. Pola ini  jelas  dapat  semakin memperbesar  kesenjangan  antar  regional  dimana  regional selain Pulau  Jawa  dan  Bali  pembangunan  ekonominya  semakin  jauh  tertinggal.  Kesenjangan antar  regional  ini  sekaligus  juga mempersulit  upaya  penanggulangan  pengangguran  dan
kemiskinan. Bila kesenjangan ini masih berlanjut, itu mencerminkan pula kurang tepatnya strategi  Pemerintah  secara  nasional menarik  investasi  dalam  rangka  pemulihan  ekonomi
dari krisis dan revitalisasi perekonomian.
Sejalan  dengan  otonomi  daerah,  kesenjangan  pembangunan  antar  daerah  yang
tinggi menunjukkan  tujuan otonomi daerah  tidak  tercapai dalam  rangka menyejahterakan
rakyat. Dengan otonomi, semestinya daerah, kabupaten, kota, dan propinsi, harus berlomba
menunjukkan  prestasi  yang  nyata  di  tengah  persaingan  ekonomi  yang  semakin  ketat. Mobilisasi  sumberdaya  lokal, praktis  di bawah  kendali  pemerintahan  lokal  dan  propinsi.  Dengan demokrasi politik pemilihan langsung gubernur, bupati, dan walikota memberikan harapan  kesungguhan  setiap  daerah  membangun  ekonomi  dengan  prinsip  kompetisi. Program-program  pembangunan  menjadi  implementasi  strategi  setiap  pemimpin  daerah
dalam  mewujudkan  visi  dan  misi  ketika  kampanye  pemilihan  kepala  daerah  tersebut. Secara  praktis  dapat  dikatakan  bahwa  otonomi  daerah  memberikan  kesempatan seluas-luasnya  kepada  daerah  untuk membangun  sesuai  dengan  kapasitas  daerah  itu  di  tengah perubahan lingkungan strategis yang cepat.
Pembangunan  koperasi  adalah  salah  satu  strategi  setiap  kepala  daerah  dalam pembangunan  ekonomi. Mengapa demikian?   Karena koperasi  telah dikenal  luas  selama ini sebagai lembaga yang dianggap mampu mewadahi masyarakat mencapai cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan  rakyat berdasarkan kultur kerjasama.   Secara  ideal, koperasi tidak hanya sebagai badan usaha rakyat tapi juga sebagai lembaga yang dianggap mampu mengejawantahkan  peran  konstitusi  (pasal  33  UUD  1945)  dalam  konteks  ekonomi kerakyatan. Secara  faktual,  koperasi merupakan  salah  satu  pelaku  ekonomi  sebagaimana
bentuk  badan  usaha  lain,  seperti  perseroan  terbatas  (PT).  Dalam  era  otonomi  daerah jelaslah bahwa pengembangan ekonomi koperasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan  ekonomi  nasional dan  regional. Tentunya,  para  kepala daerah  juga  harus berlomba memajukan ekonomi koperasi di daerahnya.
Apakah  perekonomian  daerah  yang  tinggi  dapat  mencerminkan  kemampuan propinsi  mengembangkan  koperasi?  Hal  ini  patut  dipertanyakan  mengingat  Produk Domestik  Regional  Bruto  (PDRB)  daerah-daerah  di  Pulau  Jawa  dan  Bali  yang  paling tinggi di  Indonesia, ketersediaan  infrastruktur yang  lebih baik dari wilayah  lainnya,  serta jumlah penduduk  yang  banyak  seyogianya mencerminkan kemampuan  yang  lebih  tinggi. Pulau  Jawa  dan  Bali  dalam mengembangkan  ekonomi  koperasi.  Tulisan  ini merupakan hasil  analisis  terhadap  performa  propinsi  alam  pengembangan  ekonomi  koperasi  pada tahun  2006  dengan  menampilkan  posisi  atau  peringkat  propinsi  dalam  pengembangan ekonomi  koperasi.    Dengan  menggunakan  metode  indeks,  analisis  ini  menarik  untuk disimak karena dapat menjadi gambaran bahwa ukuran perekonomi daerah yang kuat tidak
mencerminkan  sepenuhnya  kemampuan  mengembangkan  ekonomi  koperasi.  Daerah  di
Pulau Jawa dan Bali sebagai daerah yang kuat perekonomian ternyata posisinya di bawah daerah  lainnya yang di  luar P. Jawa dan Bali. Hasil analisis  ini  juga   dapat membuktikan apakah  strategi  pemerintah  daerah  dan  pusat,  khususnya  lembaga  pemerintah  yang bertanggungjawab  pengembangan  koperasi,  mampu  menjawab  permasalahan  dasar perekonomian sesuai grand strategies pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),  khususnya  dalam  rangka  otonomi  daerah. Dengan  kata  lain,  apakah  pola pembangunan  koperasi  menjamin  perbaikan  perekonomian  daerah  dan  nasional  atau berpotensi untuk meningkatkan kesejanjangan antar daerah bila pola  tersebut  terjadi  terus
menerus.

Sumber                                : http://www.smecda.com/kajian/files/Jurnal_3_2008/04_Johnny_W.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar