REVIEW 12 HASIL
ANALISIS
PERINGKAT PROPINSI
DALAM MEMBANGUN EKONOMI KOPERASI
ANALISIS BERDASARKAN
INDEKS PEKR
OLEH :
Johnny W. Situmorang
III.
Hasil Analisis
3.1
Rating dan Peringkat Propinsi
Sebagaimana terlihat
dalam metode analisis,
IPEK merupakan ukuran rating
propinsi dalam performa
ekonomi koperasi. Tabel
1 menampilkan hasil perhitungan IPEK
sesuai dengan persamaan (3).
Pada tahun 2006, sebaran
rating propinsi sangat beragam. Rating tertinggi
adalah mencapai 5.6086 dan
terendah 0.1224. Rating 5.6086 menunjukkan
bahwa performa ekonomi
koperasi regional mencapai 5.61
kali lebih tinggi
daripada kemampuan ekonomi
regionalnya. Dengan kata
lain, setiap 1%
pangsa ekonomi regional
terhadap nasional akan menciptakan 5.61% ekonomi koperasi regional. Rating 0.1224 berarti setiap 1% pangsa ekonomi
regional hanya menciptakan 0.1224%
ekonomi koperasi atau 87.76% di bawah kapasitas ekonomi
regionalnya.
Pada Tabel 1 tersebut
terlihat pula, yang mampu mencapai
IPEK>1 hanya 12 propinsi atau 36.4% dari seluruh propinsi, selebihnya
64.6% di bawah nilai satu (IPEK<1). Dengan
kata lain hanya
sebagian kecil dari
propinsi yang mampu menunjukkan performa
baik dalam pengembangan
ekonomi koperasi. Hal
ini sebenarnya memprihatinkan mengingat rencana strategi setiap kepala
daerah selalu menempatkan koperasi sebagai obyek pembangunan daerah yang terpenting. Data tersebut di
atas juga mengindikasikan bahwa
antara ucapan dan
tertulis yang menyatakan komit
terhadap pembangunan koperasi
sangat jauh dari
kenyataan. Berarti, rencana
strategis kepala daerah
yang memuat pembangunan
koperasi sebagai salah satu target utama, cenderung hanya retorika
politik agar memperoleh simpati rakyat ketika kampanye pemilihan kepala daerah.
Hasil dari
analisis ini memperlihatkan suatu
hal yang tidak
disangka sebelumnya secara radikal.
Justru rating tertinggi dicapai oleh Propinsi Gorontalo (5.6086) dan terendah Propinsi Kepulauan Riau
(0.1224). Rating tinggi
dicapai oleh 12 propinsi,
yakni Gorontalo, Bali (3.5734),
Jawa Timur (2.3627), Maluku (2.3113), DI Yogyakarta
(1.7472), Jawa Tengah (1.6723), NTB (1.3200), Sumatera Selatan (1.2468),
Sulawesi Utara (1.1426), Sulawesi
Selatan (1.0870), Lampung (1.0632), dan
Sulawesi Tenggara (10239).
Dengan rating tersebut,
maka secara berurutan peringkat-1
diduduki oleh Propinsi
Gorontalo, dan seterusnya
sesuai dengan rating di atas. Hal
yang mengejutkan lagi adalah propinsi
yang selama ini diketahui selalu
menunjukkan jumlah koperasi yang
banyak ternyata tidak selamanya mampu
menduduki posisi tertinggi
dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Hal
ini terlihat misalnya
Jawa Barat, DKI
Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Riau. Bahkan
posisi DKI Jakarta terpuruk pada urutan ke-21.
Performa pengembangan
ekonomi koperasi berdasarkan
pulau juga menunjukkan pola
yang sama dengan
propinsi. Sedangkan berdasarkan
kawasan (KBI dan KTI)
sejalan dengan kondisi
obyektifnya. Berdasarkan pulau,
rating tertinggi mencapai
2.118 dan terrendah
0.1530. Tedapat empat
dari tujuh pulau yang mencapai rating
IPEK>1, dan tiga pulau di
bawah satu (IPEK<1). Peringkat
berdasarkan pulau dalam
pengembangan ekonomi koperasi
dengan rating di
atas satu adalah secara berturutan adalah Bali & Nusa Tenggara (1), Maluku (2), Jawa (3), Sulawesi
(4). Sedangkan IPEK<1
adalah Sumatera (5), Kalimantan (6),
dan Papua (7). Posisi
Pulau Jawa dan
Sumatera yang hanya
pada peringkat-3 dan peringkat-5 memang patut
dipertanyakan. Kelebihan kemampuan dan
aksesibilitas Pulau Jawa dan Sumatera ternyata tidak menjamin posisinya
tertinggi.
Kalau dilihat lebih lanjut,
perbedaan performa kawasan antara KBI dan KTI juga terlihat.
Rating KBI di atas nilai satu dan
KTI di bawah nilai satu. Namun perbedaan ratingnya
tidak terlalu jauh. KBI
masih menjadi unggulan
dalam pengembangan ekonomi
koperasi. Hal ini
dapat dimengerti mengingat
posisi geopolitik dan geografi
KBI yang jauh lebih
baik daripada KTI. Pencapaian ekonomi koperasi di KBI hanya
16.5% di atas kemampuan ekonomi regionalnya.
Sementara di KTI
ada kelebihan kapasitas sebesar
41.39% dalam upaya 6mengembangkan ekonomi koperasi.
3.1
Ukuran Ekonomi Regional
Sejauhmana kemampuan
ekonomi relatif regional/propinsi terhadap nasional merupakan ukuran ekonomi
regional atau kapasitas dari propinsi tersebut dalam bidang
ekonomi. Kapasitas itu diukur
berdasarkan PDRB dan
PDB yang biasa digunakan untuk
mengukur perekonomian. Sepanjang tahun 2001-2005, PDB Indonesia mencapai
rata-rata Rp1921.96 triliun
per tahun. Selama kurun
waktu tersebut, kontribusi PDRB
terhadap PDB tertinggi
adalah Propinsi DKI Jakarta, mencapai 15.7-18.4% atau rata-rata
16.6% per tahun, menyusul Jawa Timur 13.9-15.2% atau rata-rata 15% per tahun,
dan Jawa Barat 13-14.9% atau rata-rata 13.6%, dan terendah adalah Propinsi
Gorontalo, sebesar rata-rata 0.12%. Propinsi-propinsi di
Jawa, kecuali D.I .Yogyakarta
dan Banten, termasuk penyumbang
pendapatan terbesar secara nasional.
Pada tahun
2006, PDB Indonesia
telah mencapai Rp3339.48
triliun. Kontribusi ekonomi regional
terhadap PDB tertinggi
adalah 0.1502 atau
15.02% dari PDB dan
terrendah adalah 0.0007
atau hanya 0.07%
dari PDB. Kontribusi
ekonomi regional rata-rata adalah 0.0303 atau 3.03%. Oleh karena itu
kontribusi di atas 3.03% telah menunjukkan yang
tinggi dalam perekonomian.
Pada Grafik 1 terlihat DKI Jakarta adalah propinsi yang mempunyai
kapasitas ekonomi regional
tertinggi dengan UER
sebesar 0.1502 dan
Gorontalo yang terendah,
sebesar 0.0007. Propinsi yang
mempunyai kapasitas ekonomi
regional yang tinggi
hanya sebanyak 7 (tujuh), yakni secara berturutan.
DKI Yakarta (1),
Jawa Timur (2), Jawa Barat
(3), Jawa Tengah (4), Kalimantan Timur (5), Riau (6), dan
Sumatera Utara (7), selebihnya rendah dan sangat rendah. Kelompok propinsi
terrendah kapasitas ekonomi regional sebanyak 14 propinsi dan Maluku, Sulawesi
Barat, Maluku Utara,
dan Gorontolo merupakan
kelompok paling rendah. Posisi
ekonomi propinsi ini
sejalan dengan gambaran
perbedaan kapasitas kawasan antara KBI dan KTI dimana kontribusi ekonomi
KBI mencapai 77.8% terhadap nasional.
Memperhatikan kapasitas regional pada grafik 1,
semestinya propinsi yang memiliki
kapasitas tinggi dalam
perekonomian akan menunjukkan
performa ekonomi koperasi yang
juga harus tinggi.
Misalnya, dengan UER
DKI Jakarta 0.1502, Jatim
0.1419, Jabar 0.1418,
dan Jateng 0.0844
maka ukuran ekonomi koperasi (cooperative economic
size) di masing-masing
propinsi itu semestinya akan mencapai minimal
angka-angka tersebut. Namur kenyataannya berbeda, hal
tersebut sangat tergantung
pada strategi dan
upaya propinsi menggerakkan sumberdaya ekonomi koperasi
di wilayahnya. Kalau
propinsi tersebut mampu menggerakkan sumberdaya
koperasi melebihi UER-nya
maka propinsi tersebut dinyatakan bekerja
secara penuh memanfaatkan
kapasitas ekonomi regionalnya. Sebaliknya, kalau
propinsi tersebut tidak
sanggup menggerakkan
sumberdayanya maka performa ekonomi
koperasi regional akan
rendah. Artinya, propinsi
tidak mampu menggunakan
kapasitas ekonominya dengan
baik untuk memajukan koperasi sebagai wujud ekonomi
rakyat.
Dari
tinjauan kapasitas ekonomi berdasarkan pulau besar di Indonesia, yang juga terungkap
dalam riset ini.
Propinsi-propinsi yang berada
di Pulau Jawa
dan Sumatera mendominasi perekonomian
nasional karena lebih
dari 75% kapasitas nasional merupakan porsi
Jawa dan Sumatera. Pada
Grafik 2
terlihat porsi Pulau Jawa saja mencapai
lebih dari separuh
nasional, yakni 55.6%, menyusul wilayah Pulau Sumatera
mencapai lebih dari
20%. Sisanya, sebesar
23%, dibagi oleh wilayah di Kalimantan,
Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara,
Papua, dan Maluku. Hal
ini menunjukkan kapasitas ekonomi
propinsi-propinsi di Jawa
dan Sumatera jauh lebih besar daripada propinsi di luar kedua
pulau tersebut. Dari sisi kawasan, regional
economic size KBI
juga sangat tinggi,
mencapai 77.9%, sedangkan sisanya kapasitas KTI
hanya sekitar 15.7%. Pola perekonomian ini menunjukkan disparitas yang sangat tinggi
tidak hanya dalam satu pulau, antar pulau, juga antar kawasan. Artinya, kemampuan
ekonomi Jawa dan Bali dan
propinsi di KBI jauh lebih tinggi daripada lainnya.
Dari gambaran mengenai
kapasitas di atas,
memunculkan pertanyaan
menyangkut kemampuan mengembangkan
ekonomi atau bisnis
koperasi secara regional. Apakah
harapan semestinya performa ekonomi
koperasi yang jauh lebih baik di propinsi yang tinggi kapasitas
ekonomi regionalnya, propinsi di pulau-pulau yang tinggi
kapasitas ekonominya, dan
propinsi di KBI
yang tinggi kapasitas ekonominya terjadi
dengan sendirinya? Hal
itu akan terlihat
ketika ukuran ekonomi koperasi
regional-nya dapat ditampilkan,
sebagaimana uraian pada
bab berikut.
3.1
Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
Gambaran mengenai
kemampuan propinsi mengembangkan
ekonomi koperasi terlihat dari
ukuran ekonomi koperasi
regional (UEKR). Dimensi
ini menunjukkan sejauhmana propinsi
memberikan kontribusi terhadap
ekonomi koperasi secara nasional. Indikator ini juga mencerminkan
kapasitas propinsi dalam ekonomi
koperasi. Pada Grafik 3 memperlihatkan bagaimana
distribusi ekonomi koperasi
menurut propinsi. Nilai UEKR tertinggi
mencapai 0.3352 dan
terendah sebesar 0.0002. Sama
dengan ukuran ekonomi
regional, nilai rata-rata
adalah 0.0302. Sehingga propinsi yang memperoleh angka UEKR di atas
0.0302 adalah kategori tinggi ukuran ekonomi koperasinya. Dari semua propinsi,
hanya 6 propinsi atau 18.2% dari
seluruh propinsi yang
memperoleh UEKR di
atas 0.03, yakni secara berurutan Jawa Timur (0.3352),
Jawa Barat (0.1414), Jawa Tengah (0.1412), DKI
Jakarta (0.0780), dan
Bali (0.0400). Kelima
propinsi ini memberikan sumbangan terhadap ekonomi koperasi secara nasional
mencapai 73.58%, sisanya merupakan kontribusi 28 propinsi lainnya. Posisi
propinsi ini ditinjau dari UEKR sesuai dengan kondisi sumberdaya dan aksesibilitas daerah tersebut sebagai pusat ekonomi Indonesia.
Tinjauan dari
sisi pulau, pada
tahun 2006, koperasi
di Pulau Jawa mendominasi perekonomian
koperasi dengan kontribusi
terbesar. Pada Grafik
4 terlihat ukuran ekonomi
koperasi di Jawa mencapai
angka 0.7530. Nilai UEKR rata-rata adalah 0.1429, sehingga
setiap wilayah yang memperoleh UEKR di
atas 0.1429 termasuk kategori tinggi.
Jadi hanya Jawa yang termasuk kategori tinggi, sedangkan Sumatera
masih di bawah
rata-rata, yakni dengan
UEKR sebesar 0.1326. Apabila Jawa dan Sumatera digabung maka nilai
UEKR mencapai 0.8959 atau
mendominasi sebesar 89.59%
ekonomi koperasi Indonesia.
Sisanya dibagi oleh Kalimantan,
Sulawesi, Bali dan
Nusa Tenggara, Maluku,
dan Papua. Berdasarkan kawasan,
KBI sangat mendominasi ekonomi koperasi nasional dengan UEKR mencapai
0.9075, artinya sebanyak
90.75% ekonomi koperasi
nasional merupakan sumbangan koperasi
di KBI. Performa ekonomi
koperasi tersebut di atas mencerminkan ketimpangan antar
propinsi, antar pulau, dan antar kawasan.
Kapasitas ekonomi regional,
yakni propinsi, pulau,
dan kawasan, berdasarkan UER
dan UEKR yang
tinggi ternyata belum
menjamin tingginya peringkat propinsi
itu dalam performa
ekonomi koperasi. Sebagaimana uraian pada Bab Rating dan Peringkat, terungkap bahwa IPEKR beberapa propinsi yang memiliki kapasitas
tinggi baik ekonomi
regional maupun ekonomi
koperasi. Hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah
yang masuk dalam kategori performa baik.
Sedangkan Jawa Barat, Sumatera
Utara, dan DKI Jakarta
tidak termasuk sebagai propinsi yang
performanya baik. Justru
sebagian besar propinsi
yang kapasitas ekonomi regional
yang rendah menduduki
posisi tinggi dengan
performa baik. Mengapa
bisa begitu? Hal
itu disebabkan oleh
kapasitas ekonomi regional
yang tinggi tidak mampu
menjadi penggerak ekonomi
koperasinya. Artinya,
pengembangan ekonomi koperasi di bawah kemampuan atau potensi ekonomi yang
dimiliki. Misalnya Jawa Barat
dengan UER sebesar
14.18% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar
14.14%. Demikian juga
DKI Jakarta dengan UER 15.02% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar
7.8%. Sementara Gorontalo yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi regional
sebesar 0.07% malah mampu menciptakan
ekonomi koperasi sebesar
0.37%. Demikian juga
Bali dengan kapasitas ekonomi
regional 1.12% mampu
menciptakan ekonomi koperasinya sebesar 4.0%. Berdasarkan pulau, Bali dan Nusa Tenggara
yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi 2.55%
ternyata mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 5.38% yang
mengalahkan Jawa dengan
kapasitas ekonomi regional
mencapai 55.6% tapi hanya mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar
73.5%. Sumatera misalnya, dengan
kapasitas ekonomi regionalnya
mencapai 21.35% tapi
hanya mampu menciptakan ekonomi koperasi di Sumatera sebesar 13.26%,
jauh di bawah kapasitasnya.
WHEEEWWW...... ga ngerti blas... wwkwkwkwkwkwk.....
BalasHapussory menganggu, saya agung dwi mau nanya anda punya data mengenai analisis ekonomi dan analisis industri tahun 2012 ato 2013 ndak? karena lg butuh buat tambahan bahan paper... makasih sebelumnya bisa dibales di email saya agungdwirahmadianto3490@gmail.com ditunggu balasannya
BalasHapus